ASWAJA ( Ahlussunah wal Jamaah )




Secara tradisi orang Islam penganut paham Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) di Indonesia mewarisi ajaran Islam yang dibawa oleh para wali. Ajaran tersebut dibawa dan disebarkan oleh para wali melalui berbagai media. Kebanyakan dari mereka menggunakan media yang sudah tumbuh dan berkembang di masyarakat. Selanjutnya media tersebut menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan dengan Islam yang berkembang di Indonesia.



Media yang digunakan oleh para wali dalam memperkenalkan ajaran tauhid dalam Islam adalah media kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Mereka para wali tidak membuat hal yang baru di dalam masyarakat, kecuali mengubah nilai-nilai lama menjadi nilai-nilai Islam. Salah satu contoh adalah media pertunjukan wayang kulit, yang diubah nilainya menjadi nilai yang mengajarkan syariat dan tauhid Islam. 
Bahkan sistem pendidikan pesantren yang merupakan sistem yang diwarisi dari tradisi pra-Islam juga digunakan sebagai sistem untuk mengajarkan nilai-nilai Islam. Sistem pendidikan model asrama ini menjadi sistem untuk menggembleng calon ahli agama jauh sebelum para wali datang ke Indonesia, terutama di tanah Jawa. Kemudian, pada masa selanjutnya sistem ini diubah isinya dengan tetap mempertahankan sistemnya.
Disamping mewarisi tradisi Islam yang dikembangkan oleh para wali, Islam Aswaja di Indonesia, pada masa selanjutnya juga dikembangkan oleh para kyai pesantren yang mengenyam pendidikan di tanah suci. Mereka belajar langsung kepada para guru yang memegang genealogi (sanad) keilmuan yang sampai kepada pendiri mazhab dan Rasulullah SAW. Misalnya Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, yang belajar di tanah suci kepada para guru (masyayikh) yang memiliki sanadkepada para Imam pendiri mazhab baik dalam bidang tauhid, tasawuf, maupun dalam bidang fikih.
Islam tradisi yang diajarkan oleh para kiai ini berjalan dengan baik di tengah-tengah masyarakat dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sampai suatu saat, di awal abad ke-20, ketika beberapa tokoh agama yang pernah menjadi santri di tanah suci mulai kenal dengan gerakan pembaharuan Islam, dan selanjutnya membawa dan mendakwahkan ajaran-ajaran pembaharuan tersebut di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Sejak saat itulah Islam tradisi yang mengajarkan paham Aswaja mulai mendapat gugatan. Berbagai ritual dan ajaran yang selama ini dijalankan oleh masyarakat Islam digugat.

Muncul istilah pemberantasan TBC (tahayul, bid’ah dan churafat), dimana banyak sekali ritual yang selama ini dijalankan oleh orang Islam dianggap sebagai bid’ah atau tidak pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Banyak sekali pertentangan di masyarakat, baik berupa debat pendapat bahkan sampai pertentangan fisik, misalnya yang terjadi di Minangkabau. Puncaknya ketika dilaksanakannya Kongres Islam di Yogyakarta sebagai persiapan pengiriman delegasi ke Kongres Islam Internasional di Arab. Kalangan Kiai dan Ulama yang berpegang teguh kepada ajaran Islam tradisi ditinggalkan oleh kongres yang akan mengirim delegasi ke Kongres Internasional, karena memiliki pendapat yang berbeda. Hal ini terjadi ketika usulan mereka agar Kerajaan Saudi tidak memberangus mazhab dan menghancurkan peninggalan Islam maupun pra-Islam, yang dianggap bisa memicu kemusyrikan, tidak mendapatkan tempat.
Dari sinilah kemudian para kiai dan ulama yang memegang teguh ajaran Islam Aswaja bersepakat membangun gerakan mempertahankan ajaran Islam Aswaja. Agar gerakan tersebut bisa berjalan efektif, maka para kiai mendirikan sebuah organisasi yang dinamakan Nahdlatul Ulama. Organisasi ini merupakan hasil akhir dari proses pembangunan organisasi yang didahului dengan pembentukan Taswirul Afkar (gerakan pemikiran), kemudian dilanjutkan pendirian Nahdlatut Tujjar (gerakan para saudagar).
Disamping sebagai respon dari mulai digugatnya ajaran Islam tradisi, pendirian organisasi ini juga sebagai respon gerakan kebangkitan nasional yang saat itu mulai marak terjadi. Hampir semua kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan ideologi mendirikan organisasi. Dalam konteks kebangkitan nasional, pendirian organisasi ini adalah sebagai alat untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisme.
Karena itu dapat dikatakan jika pendirian organisasi Nahdlatul Ulama, satu sisi adalah sebagai wadah gerakan penganut Islam ala Ahlusunnah wal Jamaah dalam merespon gerakan kaum puritan yang mulai menggugat keberadaan Islam tradisi yang dijalankan oleh penganut Aswaja. Sedangkan di sisi lain sebagai wadah gerakan dalam melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.
Sayap Gerakan Aswaja

Sebagai sebuah gerakan, sebagaimana yang disampaikan di atas, gerakan Aswaja membutuhkan organisasi untuk membangun solidaritas dan persatuan. Organisasi tersebut adalah Nahdlatul Ulama. Dalam konstitusi dasarnya, organisasi ini bergerak dalam bidang keagamaan dan sosial-kemasyarakatan, dengan mengupayakan pendidikan dan pengembangan ekonomi.
Dari sini bisa dipahami jika Nahdlatul Ulama merupakan sayap gerakan Aswaja dalam bidang sosial-budaya. Sebagai sebuah sayap gerakan dalam sosial-budaya, Nahdlatul Ulama menjalankan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pembangunan masyarakat terutama dalam menjalin relasi antar individu dan kelompok masyarakat yang lain. Dalam menjalankan kegiatannya, Nahdlatul Ulama mendirikan berbagai sub-sayap mulai dari pemuda, perempuan dan kelompok profesi.
Dalam perjalanannya, di awal masa pergerakan kemerdekaan, hampir semua gerakan masyarakat yang memiliki latar belakang ideologi yang beragam membangun sayap organisasi politik untuk menyuarakan aspirasi politik dan sebagai persiapan pemilihan umum pertama. Hal ini menekan gerakan Aswaja untuk turut membangun organisasi politik. Karena itu,  gerakan Aswaja juga turut membuat organisasi sayap politik, dan sayap politik yang digunakan adalah sama, yaitu Nahdlatul Ulama. Sehingga organisasi Nahdlatul Ulama menjadi sayap sosial-budaya, sekaligus sebagai sayap politik gerakan Aswaja yang terlibat dalam Pemilu tahun 1955.
Kondisi ini terjadi sampai pada Pemilu pertama di masa Orde Baru tahun 1971, karena pada pemilu selanjutnya di masa Orde Baru, partai Nahdlatul Ulama di-fusi-kan ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Setelah kebijakan fusi yang diterapkan Orde Baru tersebut, Gerakan Aswaja tidak secara khusus memiliki sayap politik tersendiri, karena PPP menjadi sayap politik bagi berbagai aliran dalam Islam. Kebijakan fusi tersebut mengakibatkan Nahdaltul Ulama masuk dalam korporatisme negara yang menerapkan azas tunggal.
Dalam kurun waktu pemerintahan Orde Baru, dan ketika menjadi bagian dari PPP, Nahdlatul Ulama selalu mendapatkan tekanan. Sampai pada tahun 1984, Nahdlatul Ulama secara tegas menyatakan kembali ke Khittah 1926, dengan konsekuensi harus keluar dari gerakan politik. Ini berarti Nahdlatul Ulama tidak lagi menjadi salah satu bagian dari partai politik manapun.
Setelah mengumandangkan gerakan kembali ke Khittah 1926, Nahdlatul Ulama menjadi bagian penting dari gerakan masyarakat sipil (civil society) yang sangat kritis terhadap pemerintahan Orde Baru. Masa dimana Nahdlatul Ulama dipimpin oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini menjadi masa emas bagi Nahdlatul Ulama dalam memimpin bangsa Indonesia untuk bangkit melawan tirani Orde Baru.
Lima tahun setelah Nahdlatul Ulama menyatakan kembali ke Khittah, Gus Dur berupaya membangun sayap ekonomi gerakan Aswaja. Dalam hal ini, Nahdlatul Ulama berhasil menggandeng grup bisnis besar milik William Soerjadjaja. Grup bisnis ini memiliki Bank Summa. Hasil dari kerjasama ini adalah didirikannya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Nusumma. Direncanakan BPR akan didirikan sampai 2000 buah di seluruh Indonesia. Namun sayap ekonomi ini tidak bisa berkembang dengan baik. Hal ini karena Bank Summa yang diajak kerjasama mengalami kalah kliring dan dilikuidasi oleh pemerintah.
Setelah Suharto tumbang dan Indonesia masuk dalam masa reformasi, euforia politik terjadi di mana-mana. Pada masa ini gerakan Aswaja kembali mendirikan organisasi sayap politik. Hal ini setelah banyaknya desakan yang kuat kepada PBNU dari daerah untuk mendirikan partai politik. Desakan tersebut disambut oleh PBNU dengan penuh kehati-hatian, karena dikhawatirkan melanggar Khittah 1926. Namun karena desakan yang cukup kuat, akhirnya PBNU membentuk panitia persiapan pendirian sayap politik, dan selanjutnya mendeklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai sayap politik resmi gerakan Aswaja. Meskipun pada masa-masa selanjutnya ternyata sayap politik ini mengalami berbagai persoalan internal, yang berimplikasi salah satunya adalah pada pola hubungan diantar sayap gerakan Aswaja yang lain (NU). Disamping itu, juga mulai menguatnya kembali unsur-unsur politik lama yang pernah bersinggungan dengan orang-orang NU.   
Dari semua uraian di atas ada beberapa yang perlu diperhatikan, terutama yang berkaitan dengan positioning sayap-sayap gerakan Aswaja. Sayap gerakan tersebut harus menempati tempat yang telah ditentukan sesuai dengan dimensi yang menjadi ruang geraknya. Namun sayap-sayap gerakan tersebut akan bisa bertemu di wilayah gerak yang sama. Wilayah gerak tersebut adalah dalam proses pengorganisasian, dimana semua sayap akan melakukan jika ingin betul-betul melayani semua anggota atau warga yang menjadi bagian dari gerakan Aswaja.    

Wakil Sekretaris PCNU Jombang
Apa itu ASWAJA

Aswaja merupakan singkatan dari Ahl al-Sunnah wa al-Jamaáh. Ada tiga kata yang membentuk istilah tersebut.
1.       Ahl , berarti keluarga, golongan atau pengikut.
2.       Al-Sunnah , yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan Rosululloh SAW
3.       Al-Jamaáh , yakni apa yang telah disepakati oleh para sahabat Rosu SAW pada masa al-Khulafa’  al-Rosyidun (Kholifah Abu Bakar RA, Umar bin Khoththob RA, Utsman bi Affan RA dan Áli bin Abi Tholib RA)
Sebagaimana telah dikemukakan oleh Syaikh Ábdul Qodir al-jilani dalam kitabnya, al-Ghunyah li Tholibi Thoriq al-Haqq :
فالسنة ما سنه رسول الله صلى الله عليه وسلم والجماعة ما اتفق عليه اصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم في خلافة الائمة الاربعة الخلفاء الراشدين المهديين رحمةالله عليهم اجمعين
Yang dimaksud dengan al-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rosululloh SAW (meliputi ucapan, perilaku, serta ketetapan beliau). Sedangkan pengertian al-Jamaáh adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi Muhammad SAW pada masa al-Khulafa’ al-Rosyidun yang empat yang telah  diberi hidayah ( mudah-mudahan Alloh SWT member rahmat pada mereka semua)”. (Al-Ghunyah  li Tholibi Thoriq al-Haqq Juz 1, hal 80)>
Selanjutnya, Syaikh Abi al-Fadhl bin ‘Abdussyakur  menyebutkan dalam kitab al-Kawakib al-Lammaáh :
اهل السنة والجماعة الذين لازموا سنة النبي وطريقة الصحابة
في العقائد الدينية والاعمال البدنية والاخلاق القلبية
“Yang dbut Ahl al-Sunnah wa al-Jamaáh adalah orang-orang yang selalu berpedoman pada sunnah Nabi SAW dan jalan para sahabatnya dalam masalah akidah keagamaan, amal-amal lahiriyah serta akhlaq hati” (Al-Kawakib al_lammaáh, hal 8-9)
Jadi Ahl al-Sunnah wa al-Jamaáh merupakan ajaran yang mengikuti semua yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Sebagai pembeda dengan yang lain, ada tig cirri khas kelompok ini, yakni tiga sikap yang selalu diajarkan oleh Rosululloh SAW dan para sahabatnya. Ketiga prinsip tersebut adalah al-Tawassuth (sikap tengah-tengah,sedang-sedang,tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan), prinsip al-Tawazun(seimbang dalam segala hal termasuk dalam penggunaan Dalil Áqli dan Dalil Naqli) danal-I,tidal (tegak lurus).
Ketiga prinsip tersebut dapat dilihat dalam masalah keyakinan keagamaan (teologi), perbuatan lahiriyah (fiqh) serta masalah akhlaq yang mengatur gerak hati (tashawwuf). Dalam praktik keseharian, ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jamaáh dibidang teologi tercermin dalam rumusan yang digagas Imam Ásyári dan Imam Maturidi.Sedangkan dalam masalah perbuatan badaniyah termanifestasikan (terwujud) dengan madzhab yang empat, yakni Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafií dan Madzhab Hanbali. Dalam tashawwuf mengikuti rumusan Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali.
Sebagaimana definisi yang sangat sederhana, yang disenandungkan dalam untaian nadhom oleh KH. Zainal Ábidin Dimyathi :
متبعوا السنة والجماعة    #   هم تابعوا مذاهب الائمة
ففى الاصول اتبعوا المذهب  #  الماتريدي الاشعري المذهب
وفى الفروع احد الاربعة    #   هم قادة هداة هذى الامة
الشافعى والحنفى المبجل   #   ومالك واحمد بن حنبل
وفى التصوف او الطريقة   #   امامنا الجنيد ذا الحقيقة

Pengikut Ahl al-Sunnah wa al-Jamaáh adalah mereka
Yang mengikuti madzhab para imam
Dalam masalah ushul (akidah) mereka mengikuti
Madzhab Imam Asyári dan Maturidi
Dalam bidang fiqih mengikuti salah satu madzhab
Yang menjadi pemimpin umat ini
Imam Syafií dan Imam Hanafi yang cemerlang,
Serta Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal
Dalam bidang Tashawwuf atau thariqoh
Mengikuti ajaran imam Junaid
(Al-Idzaáh al-Muhimmah, 47)
Salah satu alasan dipilihnya ulama-ulama tersebut oleh Salafuna al-shalih, sebagai panutan dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jamaáh, karena mereka telah terbuki mampu membawa ajaran-ajaran yang sesuai dengan inti sari agama islam yang telah digariskan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Dan mengikuti hal tersebut merupakan suatu kewajiban bagi umatnya

Tahlilan
Secara lughah tahlilan berakar dari kata hallala (هَلَّلَ) yuhallilu ( يُهَلِّلُ ) tahlilan ( تَهْلِيْلاً ) artinya adalah membaca “Laila illallah.”  Istilah ini kemudian merujuk pada sebuah tradisi membaca kalimat dan doa- doa tertentu yang diambil dari ayat al- Qur’an, dengan harapan pahalanya dihadiahkan untuk orang yang meninggal dunia. Biasanya tahlilan dilakukan selama 7 hari dari meninggalnya seseorang, kemudian hari ke 40, 100, dan pada hari ke 1000 nya. Begitu juga tahlilan sering dilakukan secara rutin pada malam jum’at dan malam-malam tertentu lainnya.Bacaan ayat-ayat al-Qur’an yang dihadiahkan untuk mayit menurut pendapat mayoritas ulama’ boleh dan pahalanya bisa sampai kepada mayit tersebut. Berdasarkan beberapa dalil, diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya;
عَنْ سَيِّدِنَا مَعْقَلْ بِنْ يَسَارْ رَضِيَ الله عَنْهُ اَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ : يس قَلْبُ اْلقُرْانْ لاَ يَقرَؤُهَا رَجُلٌ يُرِيْدُ اللهَ وَالدَّارَ اْلاَخِرَة اِلاَّ غَفَرَ اللهُ لَهُ اِقْرَؤُهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ )رَوَاهُ اَبُوْ دَاوُدْ, اِبْنُ مَاجَهْ, اَلنِّسَائِى, اَحْمَدْ, اَلْحَكِيْم, اَلْبَغَوِىْ, اِبْنُ اَبِىْ شَيْبَةْ, اَلطَّبْرَانِىْ, اَلْبَيْهَقِىْ, وَابْنُ حِبَانْ
Dari sahabat Ma’qal bin Yasar r.a. bahwa Rasulallah s.a.w. bersabda : surat Yasin adalah pokok dari al-Qur’an, tidak dibaca oleh seseorang yang mengharap ridha Allah kecuali diampuni dosadosanya. Bacakanlah surat Yasin kepada orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian. (H.R. Abu Dawud, dll)
Adapun beberapa ulama juga berpendapat seperti Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa
وَيُسْتَحَبُّ اَنْ يُقرَاءَ عِندَهُ شيْئٌ مِنَ اْلقرْأن ,وَاِنْ خَتمُوْا اْلقرْأن عِنْدَهُ كَانَ حَسَنًا
Bahwa, disunahkanmembacakan ayat-ayat al-Qur’an kepada mayit, dan jika sampai khatam al-Qur’an maka akan lebih baik.
Bahkan Imam Nawawi dalam kitab Majmu’-nya menerangkan bahwa tidak hanya tahlil dan do’a, tetapi juga disunahkan bagi orang yang ziarah kubur untuk membaca ayat-ayat al-Qur’an lalu setelahnya diiringi berdo’a untuk mayit.
Begitu juga Imam al-Qurthubi memberikan penjelasan bahwa, dalil yang dijadikan acuan oleh ulama’ kita tentang sampainya pahala kepada mayit adalah bahwa, Rasulallah saw pernah membelah pelepah kurma untuk ditancapkan di atas kubur dua sahabatnya sembari bersabda “Semoga ini dapat meringankan keduanya di alam kubur sebelum pelepah ini menjadi kering”.
Imam al-Qurtubi kemudian berpendapat, jika pelepah kurma saja dapat meringankan beban si mayit, lalu bagaimanakah dengan bacaan-bacaan al-Qur’an dari sanak saudara dan teman-temannya Tentu saja bacaan-bacaan al-Qur’an dan lainlainnyaakan lebih bermanfaat bagi si mayit.
Abul Walid Ibnu Rusyd juga mengatakan

وَاِن قرَأَ الرَّجُلُ وَاَهْدَى ثوَابَ قِرَأتِهِ لِلْمَيِّتِ جَازَ ذالِكَ وَحَصَلَ لِلْمَيِّتِ اَجْرُهُ
Seseorang yang membaca ayat al-Qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada mayit, maka pahala tersebut bisa sampai kepada mayit tersebut.
KH. Abdul Manan A.Ghani (Ketua Lembaga Ta'mir Masjid PBNU)


G+

0 Komentar untuk "ASWAJA ( Ahlussunah wal Jamaah )"

Back To Top